Jangan Jual Barang yang Bukan Milikmu

Syarat jual beli yang ketiga adalah: orang yang mengadakan transaksi adalah orang yang memiliki barang/uang atau orang yang menggantikan peran memilik barang/uang.

Dalil dari persyaratan ini adalah firman Allah,

إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

"Kecuali jual beli yang dilakukan dengan saling rela." (QS. An-Nisa':29)
Kita semua tahu bahwa tidak ada orang yang rela jika hartanya diperjualbelikan oleh orang lain.
عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِى الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّى الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِى أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنَ السُّوقِ فَقَالَ : لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Dari Hakim bin Hizam, "Beliau berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, ada orang yang mendatangiku. Orang tersebut ingin mengadakan transaksi jual beli, denganku, barang yang belum aku miliki. Bolehkah aku membelikan barang tertentu yang dia inginkan di pasar setelah bertransaksi dengan orang tersebut?' Kemudian, Nabi bersabda, 'Janganlah kau menjual barang yang belum kau miliki.'" (HR. Abu Daud, no. 3505; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Jika ada orang yang meminta kita untuk membeli barang tertentu yang ada di toko A secara kulak, lalu menjual barang tersebut kepadanya, setelah itu kita mengadakan transaksi jual beli dengannya padahal barang tertentu tersebut masih milik toko A, maka inilah yang disebut dengan menjual barang yang belum dimiliki, sebagaimana dalam hadis di atas.

Akan tetapi, jika ada orang yang menemui kita supaya kita mencarikan barang dengan kualifikasi tertentu, yang bisa jadi kita dapatkan di toko A, B, atau lainnya, dan dia membebaskan kita untuk membeli secara kulak di tempat mana pun, yang penting kita bisa menghadirkan barang dengan kualifikasi yang dia tetapkan pada waktu yang telah disepakati dan harga yang telah ditentukan, maka transaksi semisal ini diperbolehkan, dengan syarat pokok uang sejumlah harga yang telah ditentukan seluruhnya telah diserahkan di muka. Kasus kedua inilah yang disebut dengan "jual beli salam".

Dalam kasus pertama, barang yang diinginkan pemesan adalah barang tertentu--bukan barang dengan kualifikasi tertentu--. Misalnya: Sebuah sepeda motor merek Mio yang ada dan dijual di show room milik Pak Budi, bukan yang dijual di show room milik Pak Amir. Dengan kata lain, bukan sembarang sepeda motor Mio dengan kualifikasi tertentu. Barang yang dipesan dalam kasus pertama ini, dalam bahasa fikih, disebut "barang mu'ayyan".

Sedangkan dalam kasus kedua, barang yang diinginkan oleh pemesan adalah barang dengan kualifikasi tertentu, yang bisa didapatkan di mana pun. Misalnya: Sepeda motor Mio baru berwarna hitam, baik yang di jual di show roommilik Pak Budi, Pak Amir, atau lainnya; tidak masalah. Barang yang dipesan dalam kasus kedua ini, dalam bahasa para ulama fikih, disebut "maushuf fi dzimmah".

Dengan bahasa lain, "transaksi salam" adalah 'pengecualian yang dibolehkan dari larangan menjual barang yang belum dimiliki'.

Selain pemilik asli barang, orang yang boleh mengadakan transaksi adalah orang yang menggantikan peran pemilik, semisal wakil. Wakil adalah orang yang diberi izin atau kewenangan oleh pemilik untuk membelanjakan hartanya, dalam kondisi si pemilik masih hidup.

Misalnya: Saya menyerahkan komputer saya kepada seseorang, lalu saya katakan kepadanya, "Tolong jualkan komputer ini!" Orang tersebut boleh dan sah jika menjual komputer yang telah saya serahkan karena dia menggantikan "peran pemilik" saya sebagai pemilik barang.

Contoh yang lain adalah saya menyerahkan sejumlah uang kepada kawan saya yang akan pergi ke pameran komputer, dan saya meminta kawan saya tersebut untuk membelikan komputer yang saya inginkan.

Dengan uraian di atas, berarti kita telah membahas tiga syarat sah transaksi jual beli, berkaitan dengan pelaku transaksi. Tiga syarat tersebut adalah: saling rela, pelaku transaksi adalah orang yang diperkenan syariat untuk mengadakan transaksi, dan pelaku transaksi adalah pemilik atau pengganti peran pemilik.

(sumber: www.pengusahamuslim.com)
Kalau mau download file ini, silakan klik di sini.

Lengkapnya di sini ya...

KIAT 3: Mensyukuri segala nikmat

Tiada kenikmatan -apapun wujudnya- yang dirasakan oleh manusia di dunia ini, melainkan datangnya dari AllahTa'ala. Oleh karena itu, Allah Ta'ala mewajibkan atas mereka untuk senantiasa bersyukur kepadanya yaitu dengan senantiasa mengingat, bahwa kenikmatan tersebut datangnya dari Allah, kemudian ia mengucapkan hamdalah dan selanjutnya ia menafkahkannya di jalan-jalan yang diridhai Allah. Orang yang telah mendapatkan karunia untuk dapat bersyukur demikian ini, akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, sehingga Allah akan senantiasa melipatgandakan untuknya kenikmatan,

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

"Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih." (Qs. Ibrahim: 7).Dan pada ayat lain Allah Ta'ala berfirman,

وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ

"Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur demi (kebaikan) dirinya sendiri." (Qs. an-Naml: 40).

Imam al-Qurthuby berkata, "Tidaklah manfaat syukur akan didapat selain oleh pelakunya sendiri, di mana dengannya ia berhak mendapatkan kesempurnaan dari nikmat yang ia dapat dan nikmat tersebut akan kekal dan ditambah. Sebagaimana syukur juga berfungsi untuk mengikat kenikmatan yang telah didapat serta menggapai kenikmatan yang belum dicapai." (Tafsir al-Qurthuby, 13/206).
Sebagai contoh nyata,

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ {15} فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُم بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَى أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِّن سِدْرٍ قَلِيلٍ

"Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), "Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsel (cemara) dan pohon bidara." (Qs. Saba': 15-16).

Tatkala kaum Saba' masih dalam keadaan makmur dan tentram, Allah Ta'ala hanya memerintahkan kepada mereka agar bersyukur. Ini menunjukkan bahwa dengan syukur, mereka dapat menjaga kenikmatan mereka dari bencana, dan mendatangkan kenikmatan lain yang belum pernah mereka dapatkan.

Aplikasi nyata mensyukuri nikmat.

Di antara hal yang perlu untuk senantiasa kita ingat dalam hal mensyukuri nikmat adalah perwujudan rasa syukur itu sendiri. Kebanyakan kita beranggapan, bahwa mensyukuri nikmat hanya diwujudkan semata dengan mengucapkan "Alhamdulillah" dengan lisan. Ini adalah anggapan yang kurang tepat, karena syukur nikmat memiliki perwujudan yang sangat banyak, di antaranya:

Mengucapkan alhamdulillah, atau ucapan yang semakna. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat dan hadits, di antaranya pada firman Allah Ta'ala,

الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

"Segala puji hanya milik Allah, Tuhan semesta alam."

Ibnu Jarir rahimahullah berkata, "Makna ucapan "Alhamdulillah" adalah bersyukur sepenuhnya hanya kepada Allah Yang Maha Agung dan tanpa sesembahan-sesembahan lain atau sesama makhluk lainnya. Kita bersyukur kepada Allah Ta'ala atas segala kenikmatan yang tiada terhitung jumlahnya dan tiada makhluk yang menghitungnya. Di antara kenikmatan-Nya ialah kita dikaruniai anggota tubuh yang sehat sehingga dengan mudah kita dapat menjalankan ketaatan kepada-Nya. Berbagai rezeki yang telah disiapkan untuk kita dalam kehidupan dunia, kehidupan yang bahagia. Padahal Allah tidak berkewajiban untuk melakukan itu semua untuk kita. Di tambah lagi, Allah Ta'ala juga telah menurunkan untuk kita syariat agama-Nya yang dengannya kita dapat bahagia dan kekal di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan abadi. Oleh karenanya, hanya Allah yang berhak untuk mendapatkan segala ucapan puji syukur kita." (Tafsir at-Thabari, 1/59).

Menggunakan harta kekayaan untuk mendukung peribadahan kepada Allah Ta'ala, oleh karena itu dahulu Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat malam hingga kedua kaki beliau menjadi bengkak. Dan tatkala istri beliau tercinta 'Aisyah radhiallahu 'anha berkata kepada beliau,

لِمَ تَصْنَعُ هذا يا رَسُولَ اللَّهِ؟ وقد غَفَرَ الله لك ما تَقَدَّمَ من ذَنْبِكَ وما تَأَخَّرَ؟

"Mengapa engkau melakukan ini ya Rasulullah? Padahal Allah telah mengampuni seluruh dosa-dosamu, baik yang terdahulu ataupun yang akan datang?" Beliau menjawab,

أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

"Tidakkah layak bagiku untuk menjadi seorang hamba yang bersyukur?” (HR. Muttafaqun 'alaih).

Demikianlah praktik Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mensyukuri karunia Allah Ta'ala, yang berupa diampuninya dosa-dosa beliau. Semakin besar kenikmatan yang beliau terima, semakin gigih dalam menjalankan ibadah.
Melakukan sujud syukur setiap kali mendapatkan kenikmatan baru atau terhindar dari musibah.

(أَنَّهُ كان إذا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أو بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجة وغيرهم

"Dahulu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila mendapatkan suatu hal yang menggembirakan, atau diberi kabar gembira tentangnya, beliau segera bersujud sebagai ungkapan syukur kepada Allah." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lainnya).

Al-Munawi berkata, "Sujud adalah puncak sikap tawadhu' dan rendah diri seorang hamba di hadapan Allah, yaitu dengan meletakkan wajahnya yang terhormat dan menunggingkan anggota tubuhnya. Demikianlah sepantasnya sikap seorang mukmin. Setiap kali Allah menambahkan kepadanya suatu kenikmatan, maka ia semakin bertambah merendah diri dan semakin erat dalam menggantungkan segala kebutuhannya kepada Allah. Dengan cara inilah kenikmatan dipikat dan diupayakan untuk berlipat ganda." (Faidhul Qadir, 5/118).

Demikianlah salah satu teladan yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita. Dan ini merupakan dalil lain yang menjelaskan bahwa amal ketaatan adalah wujud nyata dari rasa syukur atas kenikmatan.
Menampakkan kenikmatan yang telah kita dapatkan, yaitu dengan menceritakan kenikmatan tersebut kepada orang lain. Allah Ta'ala berfirman,

وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

"Adapun dengan nikmat -nikmat Tuhanmu, maka hendaknya engkau sebut-sebut." (Qs. adh-Dhuha: 11).

Berdasarkan ayat ini, dahulu para sahabat beranggapan bahwa termasuk kesempurnaan sikap syukur seseorang atas suatu kenikmatan ialah dengan menyebut-nyebutnya (Tafsir Ibnu Katsir, 4/524). Oleh karena itu, dahulu Nabishallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan kepada para sahabatnya kenikmatan besar yang telah beliau terima,

أنا سيد ولد آدم ولا فخر

"Aku adalah pemimpin anak keturunan Adam, dan tiada berbangga-banggaan." (HR. Ahmad dan lainnya).

Pada hadits lain, beliau juga menceritakan akan kenikmatan lain yang telah dikaruniakan Allah kepadanya,

أُعْطِيتُ خَمْسًا لم يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ من أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لي الْمَغَانِمُ ولم تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وكان النبي يُبْعَثُ إلى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إلى الناس عَامَّةً. متفق عليه

"Aku dikaruniai lima hal yang tidak pernah diberikan kepada seorang nabipun sebelumku; Aku ditolong dengan dicampakkannya rasa takut pada musuh-musuhku sejak aku masih berjarak perjalanan satu bulan dari mereka. Bumi dijadikan bagiku sebagai tempat shalat (masjid) dan juga alat bersuci, maka dari itu, barangsiapa dari umatku yang mendapatkan shalat, maka hendaknya ia segera mendirikannya (dimanapun ia berada-pen.), rampasan perang dihalalkan untukku, padahal sebelumku tidak pernah dihalalkan untuk seorang nabipun, aku dikaruniai syafa'at (kubra'), dan nabi-nabi sebelumku senantiasa diutus kepada kaumnya saja, sedangkan aku diutus kepada seluruh umat manusia." (HR. Muttafaqun 'alaih).
Menceritakan kenikmatan semacam ini disyariatkan untuk kita lakukan, bila lawan bicara kita tidak memiliki sifat iri dan hasad.

Akan tetapi bila kita merasa, bahwa lawan bicara kita memiliki sifat hasad atau iri, seyogyanya kita tidak melakukannya, dan lebih baik menyembunyikan kenikmatan tersebut tanpa harus berdusta.

(استَعِيْنُوا عَلَى إِنْجَاحِ الْحَوَائِجِ بِالْكِتْمَانِ فَإِنَّ كُلَّ ذِي نِعْمَةً مَحْسُودٌ (رواه الطبراني وغيره وحسنه الألباني

"Berupayalah untuk mewujudkan kebutuhanmu dengan merahasiakan kebutuhanmu; karena setiap orang yang mendapatkan kenikmatan pasti dihasadi oleh orang lain." (HR. ath-Thabrani dan dihasankan oleh al-Albani).

Di antara bentuk menampakkan kenikmatan yang merupakan wujud nyata dari syukur nikmat ialah dengan menggunakan kenikmatan tersebut, baik berupa pakaian, alas kaki, kendaraan, rumah dan makanan.

Pada suatu hari, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyaksikan seorang sahabat beliau yang berpakaian kusut dan berdebu. Menyaksikan penampilan sahabatnya yang tidak menarik tersebut, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallambertanya kepadanya,

أَلَكَ مَالٌ؟ قال: نعم، قد آتَانِي اللَّهُ من كل الْمَالِ، قال: (من أَيِّ الْمَالِ؟) قال: آتَانِي اللَّهُ مِنَ الْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ، فقال له صلّى الله عليه وسلّم: (إذا آتَاكَ اللَّهُ مَالا، فَلْيُرَ عَلَيْكَ أَثَرُ نِعْمَتِهِ وَكَرَامَتِهِ) رواه أحمد والطبراني وغيرهما وصححه الألباني

"Apakah engkau memiliki harta kekayaan?" Sahabat itu menjawab, “Ya, sungguh Allah telah mengaruniaiku segala harta benda.” Nabi kembali bertanya, "Harta apa saja yang engkau miliki?" Sahabat itu kembali menjawab, “Allah telah mengaruniaku kuda, dan budak.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, "Bila Allah telah mengaruniaimu harta kekayaan, maka hendaknya nampak pada dirimu pertanda kenikmatan dan karunia-Nya itu." (HR. Ahmad, ath- Thabrani dan lainnya, dan hadits ini dishahihkan oleh al-Albani).

Di antara wujud nyata sikap syukur nikmat ialah dengan senantiasa menyadari, bahwa segala kenikmatan adalah karunia Allah Ta'ala yang wajib untuk disyukuri. Sebagaimana kita juga menyadari, bahwa kita tidak akan pernah kuasa untuk menjalankan kewajiban bersyukur kepada-Nya dengan sepenuhnya. Kenikmatan Allah yang kita terima lebih besar dan lebih banyak dibanding sikap syukur yang kita lakukan. Bahkan, sikap syukur itu sendiri merupakan kenikmatan baru yang wajib disyukuri.

Diriwayatkan dalam sebagian riwayat (Israiliyat), bahwa tatkala Nabi Musa 'alaihissalam diperintahkan untuk bersyukur kepada Allah, ia berkata, "Ya Allah, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan sikap syukurku kepada-Mu adalah karunia baru dari-Mu yang aku terima? Allah menjawab ucapan Nabi Musa 'alaihissalam ini dengan berfirman, 'Wahai Dawud, saat inilah engkau telah mensyukuri kenikmatan-Ku', yaitu tatkala engkau menyadari, bahwa engkau tidak kuasa untuk mensyukuri kenikmatan-Nya dengan sepenuhnya (Faidhul Qadir, 4/512).

Inilah yang mendasari Imam asy-Syafi'i untuk berkata,

الحمد لله الذي لا يؤدى شكر نعمة من نعمه الا بنعمة منه توجب مؤدي ماض نعمه بادائها نعمة حادثة يجب عليه شكره بها

"Segala puji hanya milik Allah, yang kita tidak akan dapat mensyukuri suatu kenikmatan-Nya, kecuali bila kita mendapatkan kenikmatan-Nya yang lain. Dan kenikmatan yang telah menjadikannya dapat mensyukuri kenikmatan yang telah lalu tersebut mengharuskannya untuk kembali bersyukur kepada Allah karenanya." (Ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i, 7).

(sumber: www.pengusahamuslim.com)
Kalau mau download file ini, silakan klik di sini.

Lengkapnya di sini ya...

KIAT 2: Beramal shaleh

Yang dimaksud dengan amal shaleh ialah menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya sesuai dengan syariat yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah hakikat ketakwaan yang menjadi persyaratan datangnya keberkahan, sebagaimana ditegaskan pada ayat di atas. Dan juga ditegaskan pada janji Allah berikut,

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُم فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku. Dan barangsiapa yang tetap kafir sesudah janji itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik."(Qs. an-Nur: 55).

Tatkala Allah Ta'ala menceritakan tentang Ahlul Kitab yang hidup pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah berfirman,

وَلَوْ أَنَّهُمْ أَقَامُواْ التَّوْرَاةَ وَالإِنجِيلَ وَمَا أُنزِلَ إِلَيهِم مِّن رَّبِّهِمْ لأكَلُواْ مِن فَوْقِهِمْ وَمِن تَحْتِ أَرْجُلِهِم

"Dan sekiranya mereka benar-benar menjalankan Taurat, Injil dan (al-Qur'an) yang diturunkan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka." (Qs. al-Maidah: 66).

Ulama ahli tafsir menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan "mendapatkan makanan dari atas dan dari bawah kaki" ialah Allah akan melimpahkan kepada mereka rezeki yang sangat banyak dari langit dan dari bumi, sehingga mereka akan mendapatkan kecukupan dan berbagai kebaikan, tanpa susah payah, letih lesu dan tanpa adanya tantangan atau berbagai hal yang mengganggu ketenteraman hidupnya (baca Tafsir Ibnu Katsir, 2/76).

Dan bila kita telah mendapatkan kemudahan hidup dari atas dan bawah kita, niscaya kehidupan kita akan penuh dengan kebahagiaan, kedamaian, ketentraman dan keberhasilan.

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ

"Barang siapa yang beramal shaleh, baik lelaki maupun perempuan sedangkan ia beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. an-Nahl: 97).

Ibnu Katsir rahimahullah ketika menyebutkan hadits tentang dikembalikannya keberkahan bumi, beliau menyatakan, "Tidaklah hal itu terjadi melainkan atas keberkahan penerapan syariat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Setiap kali keadilan ditegakkan, niscaya keberkahan dan kebaikan akan melimpah ruah".
Bila demikian adanya, tidak heran bila Allah Ta'ala berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ . مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ . إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

"Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidaklah menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka, dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh." (Qs. adz-Dzariyaat: 56-58).

Di antara contoh nyata keberkahan harta orang yang beramal shaleh ialah kisah Khidir dan Nabi Musa bersama dua orang anak kecil. Pada kisah tersebut Khidir menegakkan tembok pagar yang hendak roboh untuk menjaga agar harta warisan yang dimiliki oleh dua orang anak kecil dan terpendam di bawah pagar tersebut, sehingga tidak nampak dan diambil oleh orang lain. Allah Ta'ala berfirman,

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ

"Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang shaleh, maka Tuhan-mu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhan-mu." (Qs. al-Kahfi: 82).

Ulama tafsir menyebutkan bahwa ayah yang dinyatakan dalam ayat ini sebagai ayah yang shaleh bukanlah ayah langsung kedua anak tersebut, akan tetapi kakeknya yang ketujuh, yang semasa hidupnya berprofesi sebagai tukang tenun.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Pada kisah ini terdapat dalil bahwa anak keturunan orang shaleh akan dijaga, dan keberkahan amal shalehnya akan meliputi mereka di dunia dan di akhirat. Ia akan memberi syafaat kepada mereka dan derajatnya akan ditinggikan ke tingkatan tertinggi, agar orang tua mereka menjadi senang, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah." (Tafsir Ibnu Katsir, 3/99).

Akan tetapi sebaliknya, bila kita enggan untuk beramal shaleh atau bahkan mengamalkan kemaksiatan, maka yang kita petikpun juga kebalikan dari apa yang telah disebutkan di atas. Allah Ta'ala berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

"Dan barangsiapa berpaling dari beribadah kepada-Ku/ peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (Qs. Thaaha: 124).

Ulama ahli tafsir menyebutkan, bahwa orang-orang yang berpaling dari mengingat Allah dengan beribadah kepada-Nya, maka kehidupannya akan senantiasa dirundung kesedihan dan duka. Yang demikian karena mereka senantiasa disiksa oleh ambisi menumpuk dunia, sifat kikir yang senantiasa membakar hatinya, dan rasa takut akan kematian yang senantiasa menghantuinya (baca Adhwa'ul Bayan oleh Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithy, 4/197).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

(إن الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ (رواه أحمد وابن ماجة والحاكم وغيرهم

"Sesungguhnya, seseorang dapat saja tercegah dari rezekinya akibat dari dosa yang ia kerjakan." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, al-Hakim dan lain-lain).
Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dilintasi oleh rombongan pengusung janazah, spontan beliau bersabda:

مُسْتَرِيحٌ وَمُسْتَرَاحٌ مِنهُ؟ قالوا: يا رسول الله، مَا المُسْتَرِيحُ والمُسْتَرَاحُ منه؟ قال : (العَبدُ المؤمن يَسْتَرِيحُ من نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إلى رحمة الله، والعبد الفاجر يستريح منه العبادُ والبِلاَدُ والشَّجر والدَّواب.) متفق عليه

"Apakah ia orang yang beristirahat atau diistirahati darinya? Para sahabat bertanya, 'Ya Rasulullah, apa yang dimaksud dengan orang yang beristirahat atau diistirahati darinya?' Beliau menjawab, 'Seorang hamba yang beriman, akan beristirahat (dengan kematian) dari kepayahan dunia dan gangguanya. Sedangkan seorang hamba yang keji (fajir), para manusia, negeri, pepohonan dan binatang akan teristirahatkan darinya." (HR. Muttafaqun 'alaih).

Ulama pensyarah hadits ini menyatakan, "Terbebaskannya negeri dan pepohonan dari orang keji ialah terhindarnya hal itu semua dari dampak kemaksiatan yang ia lakukan, karena kemaksiatannya itu adalah biang terjadinya kekeringan, sehingga menyebabkan tetumbuhan dan binatang menjadi binasa."

Ibnu Qayyim berkata, "Dan di antara hukuman perbuatan maksiat ialah kemaksiatan akan menghapuskan keberkahan umur, rezeki, ilmu, amalan, amal ketaatan. Dan secara global, kemaksiatan menjadi penghapus keberkahan setiap urusan agama dan dunia. Karenanya, tidaklah akan engkau dapatkan orang yang umur, agama, dan dunianya paling sedikit keberkahannya dibanding orang yang bergelimang dalam kemaksiatan kepada Allah. Tidaklah keberkahan dihapuskan dari bumi kecuali dengan sebab perbuatan maksiat manusia." (Al-Jawabul Kafi, 56).

Di antara contoh nyata akibat buruk yang harus diderita oleh manusia dari dicabutnya keberkahan dari kehidupannya ialah membusuknya daging, dan basinya makanan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan, bahwa itu semua terjadi akibat perbuatan dosa umat manusia. Beliau shallallahu 'alaihi wa salam bersabda,

(لولا بنو إسرائيل لم يَخْبُثِ الطَّعَامُ ولم يَخَْزِ اللَّحْمُ. (متفق عليه

"Seandainya kalau bukan karena ulah Bani Isra'il, niscaya makanan tidak akan pernah basi dan daging tidak akan pernah membusuk." (HR. Muttafaqun 'alaih).

Para ulama menjelaskan, bahwa tatkala Bani Isra'il diberi rezeki oleh Allah Ta'ala berupa burung-burung salwa (semacam burung puyuh) yang datang dan dapat mereka tangkap dengan mudah setiap pagi hari, mereka dilarang untuk menyimpan daging-daging burung tersebut. Setiap pagi hari, mereka hanya dibenarkan untuk mengambil daging yang akan mereka makan pada hari tersebut. Akan tetapi, mereka melanggar perintah ini dan mengambil daging dalam jumlah yang melebihi kebutuhan mereka pada hari tersebut, dan kemudian mereka simpan. Akibat perbuatan mereka ini, Allah menghukum mereka, sehingga daging-daging yang mereka simpan tersebut menjadi busuk (Ma'alim at-Tanzil oleh al-Baghawy 1/97, Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi, 10/59 dan Fathul Barioleh Ibnu Hajar, 6/411).

Al-Munawi berkata, "Hadits ini adalah suatu isyarat yang menunjukkan, bahwa membusuknya daging merupakan hukuman atas Bani Israil, akibat mereka kufur terhadap kenikmatan Allah. Yaitu tatkala mereka menyimpan daging burung puyuh, sehingga menjadi busuk, padahal Allah telah melarang mereka dari hal itu dan sebelum kejadian itu, daging tidak pernah membusuk." (Faidhul Qadir, 5/437).

(sumber: www.pengusahamuslim.com)
Kalau mau download file ini, silakan klik di sini.

Lengkapnya di sini ya...

KIAT 1: Iman kepada Allah SWT

Bila demikian adanya, tentu setiap orang dari kita mendambakan untuk mendapatkan keberkahan dalam pekerjaan, penghasilan dan harta kita. Setiap kita pasti bertanya-tanya, bagaimanakah caranya agar usaha, penghasilan dan harta saya diberkahi Allah?

Sebagaimana peranan keberkahan dalam hidup secara umum, dan dalam usaha serta penghasilan, telah banyak diulas dalam al-Qur'an dan Hadits, demikian juga persyaratan dan metode mendapatkannya. Berikut saya akan sebutkan beberapa persyaratan dan metode tersebut:

Kiat pertama untuk menggapai keberkahan: Iman kepada Allah.
Inilah syarat pertama dan terbesar agar rezeki kita diberkahi Allah, yaitu dengan merealisasikan keimanan kepada Allah Ta'ala. Allah Ta'alaberfirman,

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ. الأعراف: 96

"Andaikata penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (Qs. al-A'raf: 96).

Demikianlah imbalan Allah kepada orang-orang yang beriman dari hamba-hamba-Nya. Dan sebaliknya, orang yang kufur dengan Allah Ta'ala, niscaya ia tidak akan pernah merasakan keberkahan dalam hidup.

Di antara perwujudan iman kepada Allah Ta'ala yang berkaitan dengan penghasilan ialah dengan senantiasa yakin dan menyadari bahwa rezeki apapun yang kita peroleh ialah atas karunia dan kemurahan Allah semata, bukan atas jerih payah atau kepandaian kita. Yang demikian itu karena Allah Ta'ala telah menentukan jatah rezeki setiap manusia semenjak ia masih berada dalam kandungan ibunya. Disebutkan dalam suatu hadits,

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ في بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا نطفة ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلك ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذلك ثُمَّ يَبْعَثُ الله مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، وَيُقَالُ له: اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أو سَعِيدٌ ثُمَّ يُنْفَخُ فيه الرُّوحُ متفق عليه

"Sesungguhnya salah seorang dari kamu disatukan penciptaannya di dalam kandungan ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama itu juga, kemudian berubah menjadi segumpal daging selama itu juga, kemudian Allah akan mengutus seorang malaikat, lalu malaikat itu diperintahkan dengan empat kalimat, dan dikatakan kepadanya, 'Tulislah amalannya, rezekinya, ajalnya dan apakah ia sengsara atau bahagia.' kemudian malaikat itu diperintahkan untuk meniupkan ruh padanya." (HR. Muttafaqun 'alaih).

Bila kita pikirkan diri dan negeri kita, niscaya kita dapatkan buktinya, setiap kali kita mendapatkan suatu keberhasilan, maka kita lupa daratan, dan merasa itu adalah hasil dari kehebatan kita. Dan sebaliknya, setiap terjadi kegagalan atau bencana kita menuduh alam sebagai dalangnya, dan kita melupakan Allah Ta'ala.

Ketika Aceh ditimpa musibah Tsunami, kita menuduh alam sebagai penyebabnya, yaitu dengan mengatakan itu karena akibat dari pergerakan atau benturan antara lempengan bumi ini dengan lempengan bumi itu dan seterusnya. Ketika musibah lumpur di Porong menimpa kita, kita ramai-ramai menuduh alam dengan mengatakan itu dampak dari gempa yang menimpa wilayah Jogjakarta dan sekitar. Ketika banjir melanda Jakarta, kita ramai-ramai menuduh alam, dengan berkata siklus alam, atau yang serupa.

Jarang di antara kita yang mengembalikan semua itu kepada Allah Ta'ala, sebagai teguran atau cobaan atau mungkin juga sebagai adzab. Bahkan, orang yang berfikir demikian akan dituduh kolot, kampungan tidak ilmiah, atau malah dianggap sebagai teroris, dan seterusnya.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan Allah)." (Qs. ar-Rum: 41).

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ رضي الله عنه أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنْ اللَّيْلَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: (هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟) قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ. متفق عليه

"Dari sahabat Zaid bin Khalid al-Juhani rashiallahu 'anhu ia menuturkan, 'Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengimami kita shalat Subuh di Hudaibiyyah dalam keadaan masih basah akibat hujan tadi malam. Seusai beliau shalat, beliau menghadap kepada para sahabatnya, lalu berkata, 'Tahukah kalian apa yang difirmankan oleh Tuhan kalian?' Mereka menjawab, 'Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.' Beliau bersabda, 'Allah berfirman, 'Ada sebagian dari hamba-Ku yang beriman kepada-Ku dan kafir. Adapun orang yang berkata, 'Kita telah dihujani atas karunia dan rahmat Allah, maka itulah orang yang beriman kepada-Ku dan kufur dengan bintang.' Dan orang yang berkata, 'Kita dihujani atas pengaruh bintang ini dan itu, maka itulah orang yang kufur dengan-Ku dan beriman dengan bintang.'" (HR. Muttafaqun 'alaih).

Bila demikian adanya, maka mana mungkin Allah akan memberkahi kehidupan kita?! Bukankah pola pikir semacam ini adalah pola pikir yang menyebabkan Qarun diadzab dengan ditelan bumi?!

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ القُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ. القصص: 78

"Qarun berkata, 'Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.' Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya dan lebih banyak harta kumpulannya." (Qs. al-Qashas: 78).

Di antara perwujudan nyata iman kepada Allah dalam hal rezeki, ialah senantiasa menyebut nama Allah Ta'ala ketika hendak menggunakan salah satu kenikmatan-Nya, misalnya ketika makan:

عن عَائِشَةَ رضي الله عنها أن النبي صلّى الله عليه وسلّم كان يَأْكُلُ طَعَاماً في سِتَّةِ نَفَرٍ من أَصْحَابِهِ فَجَاءَ أعرابي فَأَكَلَهُ بِلُقْمَتَيْنِ فقال النبي صلّى الله عليه وسلّم : (أَمَا إنه لو كان ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ لَكَفَاكُمْ). رواه أحمد والنَّسائي وابن حبان

"Dari sahabat 'Aisyah radhiallahu 'anha, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu saat sedang makan bersama enam orang sahabatnya, tiba-tiba datang seorang Arab Baduwi, lalu ia menyantap makanan beliau dalam dua kali suapan. Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Ketahuilah, seandainya ia menyebut nama Allah (membaca Basmallah-pen.), niscaya makanan itu akan mencukupi kalian.'" (HR. Ahmad, an-Nasai dan Ibnu Hibban).

Pada hadits lain Nabi bersabda,

أَمَا إِنَّ أَحَدَكُمْ إذا أتى أَهْلَهُ وقال: بِسْمِ اللَّهِ اللهم جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ ما رَزَقْتَنَا، فَرُزِقَا وَلَدًا، لم يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ. رواه البخاري

"Ketahuilah, bahwa salah seorang dari kamu bila hendak menggauli istrinya ia berkata, 'Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau karuniakan kepada kami.', kemudian mereka berdua dikaruniai anak (hasil dari hubungan tersebut-pen) niscaya anak itu tidak akan diganggu setan." (HR. Bukhary).

Demikianlah peranan iman kepada Allah, yang terwujud pada menyebut nama-Nya ketika hendak menggunakan suatu kenikmatan dalam mendatangkan keberkahan pada harta dan anak keturunan.

Sebaliknya, ingkar terhadap Allah Ta'ala, dan beranggapan bahwa rezeki dan keberhasilan adalah hasil dari kecerdasan dan kerja keras kita, menjadi penyebab hancurnya segala kenikmatan.

Apa yang menimpa umat manusia sekarang ini, berupa krisis ekonomi global, merupakan bukti baru akan hal ini.

Beberapa waktu silam, umat manusia dibuat terpana oleh kehebatan dunia barat. Oleh karenanya, dunia barat oleh banyak umat Islam dinobatkan sebagai kiblat perekonomian.

Akan tetapi, krisis ekonomi global yang sedang diderita oleh umat manusia saat ini, dan yang bermula dari negara adidaya, yaitu Amerika menjadikan umat manusia kembali berpikir dan bertanya. Ada apa dan mengapa petaka dahsyat ini dapat menimpa negara-negara barat? Bukankah perekonomian mereka telah maju, teknologi mereka canggih, birokrasi mereka rapi dan pelaku ekonomi mereka handal nan cerdas?

Beribu-ribu tanda tanya dan rasa heran terus menghinggapi benak umat manusia saat ini.

Kejadian ini, kembali mengingatkan kita akan kisah yang pernah terukir dalam lembaran sejarah umat manusia. Kisah tersebut adalah kisah seorang pengusaha dan sekaligus pakar ekonomi ternama zaman dahulu. Ketokohan orang tersebut -menurut banyak orang- benar-benar fenomatis dan legendaris, sampai-sampai namanya diabadikan hingga zaman sekarang. Tokoh tersebut adalah Karun, konglomerat nomor satu yang hidup di zaman Nabi Musa'alaihissalam.

إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ. القصص: 76
"Sesungguhnya Karun adalah salah seorang kaum Nabi Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya kekayaan, yang kunci-kuncinya sungguh berat untuk dipikul oleh sejumlah orang yang gagah perkasa". (Qs. al-Qashash: 76).

Karun adalah ikon pengusaha sukses, cerdas nan kaya raya. Karun begitu sukses dan kaya, sampai-sampai kebanyakan orang mengimpi-impikan untuk mengikuti jejaknya, menjadi kaya raya. Betapa tidak, kekayaannya begitu melimpah ruah, sampai-sampai sejumlah orang yang gagah perkuasa merasa keberatan untuk memikul kunci-kunci gudangnya. Padahal, setiap gudang hanya memiliki satu pintu dan satu kunci, dan masing-masing kunci hanya sebesar jari manusia.

Menurut sebagian ulama ahli tafsir, kunci-kunci gudang Karun hanya bisa dibawa minimal oleh enam puluh keledai (Tafsir ath-Thabari, 20/106-107).

Bahkan hingga saat ini, banyak dari kita yang mendambakan untuk mendapatkan, walau hanya sedikit dari sisa-sisa harta peninggalannya; "harta karun".

قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ. القصص: 79

"Orang-orang yang mendambakan kehidupan dunia berkata, 'Semoga kiranya kita mempunyai (kekayaan) seperti yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mendapatkan keberuntungan yang besar.'" (Qs. al-Qashash: 79).
Karun merasa, bahwa ia berhasil dan sukses dalam perniagaannya karena kehebatan dan kecerdasannya sendiri. Oleh karena itu, tatkala ia ditegur dan dikatakan kepadanya,

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ. القصص: 77

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri di akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan kehidupan dunia, dan berbuatlah baik sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (Qs. al-Qashash: 77).

Demikianlah halnya dengan kehebatan dan keberhasilan dunia barat. Dunia barat merasa bahwa keberhasilan dan kemajuan mereka mulai berhasil dicapai, sejak mereka menjauhkan belenggu "agama" dari urusan dunia mereka. Akibatnya, mereka merasa bahwa keberhasilan dan kemajuan mereka berhasil dicapai berkat kecerdasan, pengalaman, dan kegigihan mereka sendiri, tanpa ada campur tangan sedikitpun dari Allah.
Tidak heran bila banyak dari umat Islam yang menyeru agar umat Islam napak tilas dengan dunia barat. Betapa banyak tokoh dan ilmuan muslim yang beranggapan, bahwa agama Islam telah menjadi penghalang kemajuan dan kejayaan umatnya. Tidak mengharankan bila paham sekuler laris manis dipelajari dan diajarkan di berbagai sekolahan yang ada di masyarakat Islam.
Di antara wujud nyata dari sikap napak tilas yang ada pada umat Islam ialah sikap banyak aktivis, bahkan tokoh agama untuk membelok-belokkan berbagai prinsip, dalil dan hukum Islam agar selaras dengan berbagai teori perekonomian barat. Semua ini demi mewujudkan impian menjadi negara maju dan makmur seperti yang terjadi di dunia barat.
Bila kita sedikit jujur saja, niscaya kita menyadari bahwa impian kita di atas serupa dengan impian masyarakat Karun kala itu. Kita beranggapan bahwa keberhasilan, kekayaan dan kemajuan pasti dapat digapai dengan pendidikan yang maju, kerja keras, dan sistem yang bagus. Kita akan mencibir setiap orang yang mengatakan bahwa iman dan amal shaleh merupakan faktor utama tercapainya keberhasilan, kejayaan, kedamaian dan kemajuan.
Kita semua lalai, bahkan banyak dari pakar ekonomi kita yang tidak percaya bahwa rezeki dan segala kenikmatan dunia adalah karunia dan nikmat dari Allah. Bahkan, banyak dari kita yang berusaha untuk melupakan, bahwa hanya Allah Ta'ala yang menurunkan dan mengatur segala urusan makhluk-Nya?!
Saudaraku, camkanlah firman Allah Ta'ala pada hadits qudsy berikut,
(يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاْسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُم عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوتُهُ فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ. (رواه مسلم
"Wahai hamba-hamba-Ku; kalian semua dalam kelaparan, kecuali orang yang telah Aku beri makan, maka memohonlah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberimu makan. Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua dalam keadaan telanjang (tidak berpakaian), kecuali orang yang telah Aku karuniai pakaian, maka mohonlah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengaruniaimu pakaian." (HR. Muslim).
(إِنَّ الله تَعَالَى هُوَ المُسَعِّرُ القَابِضُ البَاسِطُ الرَّازِقُ (رواه أبو داود وابن ماجة وصححه الألباني
"Sesungguhnya Allah Ta'ala-lah Yang menentukan harga (menciptakan berbagai hal yang mempengaruhi harga-pen), Yang Menyempirkan dan melapangkan rezeki, serta Maha Pemberi Rezeki." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Albani).
Demikianlah Karun -sang pencetus paham ekonomi ini- dengan kekayaannya yang berlimpah ruah, merasa telah berhasil mencapai kejayaan dan kemajuan. Akan tetapi tidak di duga-duga, pada saat itulah Allah Ta'ala menimpakan kemurkaan dan adzab-Nya,
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِن فِئَةٍ يَنصُرُونَهُ مِن دُونِ اللَّهِ وَمَا كَانَ مِنَ المُنتَصِرِينَ
"Maka, Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan yang kuasa menolongnya dari adzab Allah, dan tiada pula ia termasuk orang-orang yang kuasa menyelamatkan/memmbela (dirinya sendiri)." (Qs. al-Qashash: 81).
Demikianlah halnya bila kemurkaan dan adzab Allah Ta'ala telah datang dan menimpa kaum kafirin. Tiada yang kuasa menolak adzab agar tidak datang dan tiada yang mampu menolong setelah adzab tiba. Demikian pula apa yang kita rasakan sekarang, tatkala adzab Allah telah menimpa kaum sekuler para pemuja harta kekayaan, dengan dihancurkannya perekonomian mereka, tiada yang kuasa mencegah dan tiada yang berdaya menyelamatkan.
Ini semua sebagai bukti dari sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
( إِنَّ اللهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ حَتَّى إِذَا أَخَذَهُ لمَ ْيُفْلِتْه . (قال ثم قرأ ) وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ ( متفق عليه
"Sesungguhnya Allah Ta'ala menunda orang yang berbuat kezhaliman, hingga bila telah datang saatnya Ia menimpakan adzab kepadanya, niscaya ia tidak dapat mengelak." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah, “Dan demikianlah adzab Tuhanmu, apabila Dia menimpakan adzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras. (Qs. Hud: 102)" (HR. Muttafaqun 'alaihi).
Saudaraku, tahukah Anda apa yang dikatakan oleh orang-orang mendambakan agar memiliki kekayaan dan keberhasilan seperti yang dicapai oleh Karun, di saat mereka menyaksikan adzab yang menimpa idola mereka? Mereka serentek mengakui bahwa kepandaian, kegigihan, dan kehebatan Karun tidaklah berguna. Rezeki, kebahagiaan, keselamatan, dan kesengsaraan adalah bagian dari ketentuan Allah yang berlaku pada makhluk-Nya. Oleh karen itu, mereka berkata,
وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلا أَن مَّنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
"Aduhai, benarlah (hanya) Allah-lah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya. Kalaulah Allah tidak melimpahkan karunia-Nya kepada kita, niscaya Dia telah membenamkan kita (pula). Aduhai, benarlah tidak beruntuk orang-orang yang kufur (mengingkari nikmat Allah)." (Qs. al-Qashash: 82).
Saudaraku, coba bandingkanlah ucapan mereka di atas dengan keadaan kita pada saat ini. Kita semua ramai-ramai mengakui, bahwa tidak semua apa yang ada dan diterapkan oleh dunia barat layak untuk ditiru. Mungkin sekarang ini -dengan terpaksa- banyak dari pakar ekonomi yang mengakui, bahwa berbagai paham dan teori ekonomi yang mereka pelajari dari para pewaris Karun tidak dapat menyelamatkan dan memakmurkan dunia. Di berbagai mass media, kita dapatkan berbagai ulasan yang merinci berbagai kesalahan dan kebobrokan paham ekonomi yang dianut oleh dunia barat.
Saudaraku, tidakkah krisis ekonomi global ini cukup menjadi peringatan bagi kita untuk kembali kepada Syariat Allah?! Bukankah kita semua menyadari dan beriman, bahwa dunia berserta isinya adalah ciptaan Allah? Akan tetapi, mengapa kita tidak mengindahkan dan menerapkan aturan dan ketentuan yang telah Allah turunkan dalam memakmurkan dunia?!
Bukankah bila kita membeli suatu mesin dari suatu perusahaan, dengan sepenuhnya kita mematuhi tatacara pengoperasian dan perawatan yang mereka tentukan?! Akan tetapi, mengapa kita menyelisishi kebiasaan ini, tatkala kita hendak menggunakan dan merawat dunia yang merupakan ciptaan Allah?!
Saudaraku! Simaklah janji Allah Ta'ala,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا {2} وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
"Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan beginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya. Sesungguhnya, Allah (berkuasa untuk) melaksanakan urusan yang dikehendakai-Nya. Sesungguhnya, Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap urusan." (Qs. at-Thalaq: 2-3).
Pada ayat lain, Allah Ta'ala berfirman,
(إِنَّ الَّذِينَ تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لا يَمْلِكُونَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوا عِندَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ. (العنكبوت: 17
“Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki kepadamu, maka mintalah rezeki itu di sisi Allah, dan beribadah dan bersyukurlah kepada-Nya,. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.” (Qs. al-Ankabut: 17).
Janji Allah Ta'ala pada ayat kedua ayat ini bukan berarti bila kita telah shalat, puasa, dan berdzikir lalu akan segera turun hujan emas dan perak. Tidak demikian, ayat ini ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sabdanya,
(لو أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ على اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كما يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً (رواه أحمد وغيره
"Andaikata engkau bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakkal, niscaya Allah akan melimpahkan rezeki-Nya kepadamu, sebagaimana Allah melimpahkan rezeki kepada burung, yang (setiap) pagi pergi dalam keadaan lapar dan pada sore hari pulang ke sarangnya dalam keadaan kenyang." (HR. Ahmad dan lain-lain).
Demikianlah aplikasi ayat ini, umat Islam harus bekerja keras, berjuang dengan pantang menyerah. Gambaran tawakkal umat Islam adalah bagaikan seekor burung yang bekerja jeras pantang menyerah. Pada setiap pagi, setiap burung meninggalkan sarangnya menuju ke berbagai arah, guna mengais rezekinya, dan pada sore hari, masing-masing kembali ke sarangnya dalam keadaan kenyang.
Alangkah indahnya jiwa seorang mukmin yang mengamalkan ayat dan hadits di atas. Ia bekerja keras, pantang menyerah, dan pada saat yang sama, ia beriman bahwa rezekinya ada di Tangan Allah Ta'ala. Setiap usahanya senantiasa diiringi dengan iman, doa dan tawakkal, serta ditutup dengan rasa syukur. Semboyannya adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْساْ لَنْ تَمُوَت حَتىَّ تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا، فَاتَّقُوا الله وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرَمَ
(رواه ابن ماجة وعبد الرزاق وابن حبان والحاكم وصححه الألباني)
"Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram." (HR. Ibnu Majah, Abdurrazzaq, Ibnu Hibban dan al-Hakim, serta dishahihkan oleh al-Albani).

Keindahan jiwa seorang mukmin akan semakin lengkap, di saat ia memperoleh karunia dari Allah berupa rezeki yang halal. Yang demikian itu, karena itu segera mensyukuri kenikmatan tersebut. Sehingga dengan syukur tersebut, kenikmatan Allah yang dikaruniakan kepadanya semakin bertambah dan melimpah.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih." (Qs Ibrahim: 7).
Bukan hanya bersyukur, sebagai seorang yang beriman kepada Allah Ta'ala dan hari akhir, ia akan menggunakan kenikmatan dalam jalan-jalan yang dibenarkan dan mendatangkan kebaikan. Kebaikan bagi dirinya, keluarga masyarakat dan agamanya.
(نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ. (رواه أحمد وصححه الألباني
"Sebaik-baik harta yang halal adalah harta halal yang dimiliki oleh orang shalih." (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh al-Albani).
Saudaraku! Ketahuilah, bahwa di antara wujud nyata dari iman kita kepada Allah Ta'ala ialah dengan senantiasa mengingat Allah Ta'ala setiap kali menyaksikan sesuatu yang menakjubkan. Orang yang benar-benar beriman akan senantiasa ingat Allah, lalu memuji-Nya setiap kali ia mendapatkan kenikmatan atau menyaksikan kenikmatan. Di antara bentuk pujian kepada Allah yang hendaknya kita ucapkan ketika menyaksikan kenikmatan ialah dengan mengucapkan
مَا شَاءَ الله
"Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud."
Allah Ta'ala menceritakan kisah seorang kaya raya yang memiliki ladang subur dan penuh dengan buah-buahan. Pada suatu hari, ia bersama sahabatnya masuk ke dalam ladangnya. Menyaksikan ladang yang begitu subur dan buah-buahannya yang beraneka ragam, ia berkata, "Aku kira ladangku ini tidak akan pernah punah, ditambah lagi, hari Kiamat yang engkau ceritakan kepadaku tidak akan pernah tiba. Dan andaipun Kiamat tiba, niscaya aku akan mendapatkan kehidupan yang bahagia." Mendengar ucapan ini, sahabat yang beriman tersebut menegurnya dengan berkata,
وَلَوْلا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاء اللَّهُ لا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ إِن تُرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالاً وَوَلَدًا
"Dan mengapa tatkala memasuki kebunmu (dan terkagum karenanya), kamu tidak mengucapkan, ' Maasya Allahu, laa quwwata illa billah [sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali atas pertolongan Allah]'. Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan." (Qs. al-Kahfi: 39).
Ibnu katsir berkata, "Sebagian ulama salaf menyatakan, 'Barangsiapa merasa takjub dengan diri, atau harta atau anaknya, hendaknya ia segera mengucapkan, 'Maasya Allahu, laa quwwata illa billah'. Dan ayat ini merupakan dasar bagi perkataan ini.'”
Pendapat ini juga didukung oleh sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
مَا أَنْعَمَ الله عَلَى عَبْدٍ نِعْمَةً مِنْ أَهْلٍ أَوْ مَالٍ أَوْ وَلَدٍ، فَيَقُولُ: مَا شَاءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، فَيَرَى فِيهِ آفَةً دُوْنَ الْمَوتِ. رواه أبو يعلى الموصلي بسند ضعيف
"Tidaklah Allah mengaruniakan kepada seorang hamba suatu kenikmatan, berupa anggota keluarga (istri), harta atau keturunan, lalu ia berkata, 'Maasya Allahu, laa quwwata illa billah', kemudian kenikmatan itu dapat ditimpa petaka selain kematian." (HR. Abu Ya'la al-Mushily at-Thabrany, al-Baihaqy dan lainnya, dengan sanad yang lemah). Sanad Hadits ini lemah, sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama di antaranya oleh as-Suyuthi, al-Munawi dan al-Albani.
Dan di antara bentuk pujian yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk kita ucapkan ketika kita menyaksikan kenikmatan ialah bacaan doa keberkahan. Memohon kepada Allah agar harta dan kenikmatan yang telah dikaruniakan kepada kita senantiasa diberkahi. Dengan demikian, kenikmatan tersebut akan mendapat keberkahan sehingga langgeng dan tidak mudah sirna.
Pada suatu hari, sahabat 'Amir bin Rabi'ah radhiallahu 'anhu melintasi sahabat Sahl bin Hanif radhiallahu 'anhu yang sedang mandi di rawa atau sungai, spontan sahabat 'Amir berkata, "Aku tidak pernah melihat kulit seputih ini, sampaipun kulit seorang gadis pingitan". Tak lama kemudian sahabat Sahl tersungkur tak berdaya. Maka kejadian itu segera disampaikan kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam, dan dikatakan kepada beliau, "Segera selamatkan Sahl!" Maka, beliaupun bersabda, "Siapakah yang kalian curigai (telah mengenainya)?” Para sahabatpun menjawab, “'Amir bin Rabi'ah.” Rasulullahpun bersabda, “Dengan sebab apa salah seorang dari kalian hendak membunuh saudaranya?! Bila ia melihat suatu hal pada diri saudaranya atau pada dirinya sendiri atau harta bendanya, yang membuatnya takjub, hendaknya ia memohonkan keberkahan. Yang demikian itu dikarenakan 'ain (pengaruh buruk pandangan mata-pen.) itu benar adanya." Lalu Beliau memerintahkan sahabat 'Amir untuk berwudhu, dengan membasuh wajah, kedua tangan hingga kedua sikunya, kedua lututnya, dan bagian dalam sarungnya (atau bagian pinggang yang menjadi tempat menyimpulkan sarung-pen), kemudian beliau memerintahkan agar air bekas basuhan[Telah terbukti bahwa untuk mengobati orang yang terkena 'ain dapat juga dengan mengambil barang yang pernah digunakan oleh orang yang mengenainya, misalnya piring, atau gelas, atau sendok, atau pakaian yang pernah ia gunakan. Walaupun yang paling sempurna ialah dengan cara yang disebutkan pada kisah Sahl ini.] tersebut disiramkan kepada sahabat Sahl. Seusai disiram dengan air tersebut, sahabat Sahl meneruskan perjalanannya bersama rombongan, seakan-akan tidak pernah mengalami gangguan apapun (kisah ini diriwayat oleh Imam Ahmad, an-Nasa'i, at-Thabrany, al-Hakim dan lainnya, serta dishahihkan oleh al-Albani).
Perlu diketahui, bahwa kedua sahabat di atas, yaitu 'Amir bin Rabi'ah dan Sahl bin Hanif termasuk sahabat terkemuka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dan keduanya termasuk yang (memiliki -ed.) andil dalam peperangan Badr (silakan baca biografi kedua sahabat ini dalam kitab al-Ishabah Fi Tamyizis Shahabah oleh Ibnu Hajar 3/198 dan 579), sehingga anggapan bahwa sahabat 'Amir telah hasad atau menyimpan kedengkian terhadap Sahl bin Hanif tidak layak kita lakukan.
Yang layak untuk kita lakukan hanyalah berbaik sangka kepada mereka berdua dan mengatakan bahwa sahabat 'Amir bin Rabi'ah radhillahu 'anhu telah lalai untuk memohonkan keberkahan bagi sahabat Sahl atas karunia Allah Ta'alaberupa kulit yang putih nan bersih.
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Pengaruh 'ain dapat terjadi ketika seseorang merasa ta'ajub/ kagum walaupun tanpa disertai rasa hasad, walaupun dari orang yang menyayangi korbannya, walaupun dari orang shalih. Dan orang yang merasa kagum terhadap sesuatu hendaknya bersegera mendoakan keberkahan untuk orang/ sesuatu yang ia kagumi, dan doa keberkahan itu akan menjadi penawar pengaruh 'ain-nya." (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalany 10/231, baca juga Bada'iul Fawaid oleh Ibnu Qayyim 2/457).
Ibnu Qayyim menjelaskan hubungan antara 'ain dan hasad adalah sebagai berikut, "Orang yang menimpakan 'ain dan orang hasad memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya; mereka berdua jiwanya terkondisi dan tertuju kepada orang yang diganggu. Orang yang menimpakan 'ain, jiwanya akan terkondisikan di saat berjumpa dan menyaksikan korbannya, sedangkan orang hasad, kehasadannya dapat terwujud baik korban ada dihadapannya atau tidak. Perbedaan antara keduanya; orang yang menimpakan 'ain dapat saja mengenai sesuatu yang ia tidak hasadkepadanya, misalnya, benda atau binatang, atau tanaman, atau harta, walaupun biasanya senantiasa disertai dengan sifat hasad pelakunya. Dan mungkin juga pengaruh matanya menimpa dirinya sendiri, karena pandangan matanya yang penuh rasa ta'ajub/ kagum dan tajam terhadap sesuatu, disertai jiwanya yang telah terkondisikan dengan keadaan kala itu, dapat mempengaruhi sesuatu yang ia pandang." (Bada'iul Fawaid, 2/456).
Demikianlah salah satu dampak negatif yang mungkin terjadi bila kita lalai untuk memohonkan keberkahan kepada Allah, untuk kenikmatan yang ada pada saudara kita atau bahkan pada diri kita sendiri.
Bila Anda bertanya, “Bagaimanakah proses terjadinya pengaruh 'ain dapat terjadi?” Maka para ulama memiliki beberapa penafsiran dan jawaban atas pertanyaan ini, akan tetapi -menurut hemat saya- pendapat yang paling kuat ialah pendapat berikut: Bila seseorang ta'ajub terhadap suatu hal, sampai-sampai menyebabkannya lalai bahwa hal yang mengagumkan itu adalah karunia Allah. Maka, kadang kala Allah menimpakan petaka pada hal yang mengagumkan tersebut. Ini semua terjadi agar orang yang beriman kembali sadar, bahwa ini semua (sesuatu yang menakjubkan dan petaka yang menimpanya) terjadi atau kuasa Allah (Mirqatul Mafatih oleh Ali al-Qary, 14/14).
Agar kita semakin memahami betapa besarnya peranan doa keberkahan atas kenikmatan yang ada pada kita, maka saya mengajak pembaca untuk bersama-sama merenungkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut,
العَينُ حقٌّ، وَلَوْ كَانَ شَيءٌ سَابَقَ القَدَرَ، سَبَقَْهُ العَيْنُ، وَإِذَا اسْتُغْسِلتم فَاغْسِلُوا. رواه مسلم
"(Pengaruh buruk) mata adalah benar adanya, dan seandainya ada sesuatu yang dapat mendahului takdir, niscaya akan didahului oleh mata (al-'ain). Dan bila engkau diminta untuk membasuh diri, maka basuhlah." (HR. Muslim).
Pada hadits lain, dengan lebih tegas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan pengaruh langsung dari pandangan orang tidak memohonkan keberkahan untuk kenikmatan yang ia saksikan,
(أَكْثَرُ مَنْ يَمُوتُ مِنْ أًُمَّتِي بَعْدَ كِتَابِ الله وَقَضَائِهِ وَقَدَرِهِ بِالأَنْفُس ( يعني بالعين) (رواه البزار والطَّيالسي وابن أبي عاصم وحسنه الألباني
"Kebanyakan orang yang meninggal dari umatku -setelah karena ketentuan dan takdir Allah- adalah akibat pengaruh jiwa." Maksudnya "pandangan mata." (HR. al-Bazzar, ath-Thayalisy, Ibnu Abi Ashim dan dihasankan oleh al-Albany).
Pada hadits lain Nabi shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda,
(العَيْنُ تُدْخِلُ الرَّجُلَ القَبْرَ وَالجَمَلَ القِدْرَ. (رواه ابن عدي وأبو نعيم وحسنه الألباني
"(Pengaruh) al-'ain (daapt) menyebabkan seseorang masuk ke dalam liang kuburannya dan unta ke dalam panci." (HR. Ibnu 'Adi, Abu Nuaim dan dihasankan oleh al-Albani).
Pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat anak-anak sahabat Ja'far bin Abi Thalib radhiallahu 'anhuma yang berbadan kurus, maka beliau bertanya kepada ibu mereka yaitu Asma' bintu 'Umais radhiallahu 'anha,
(مَا لِي أَرَى أَجْسَامَ بَنِي أَخِي ضَارِعَةً، تُصِيبُهُمْ الْحَاجَةُ؟ قالت: لاَ، وَلَكِنْ الْعَيْنُ تُسْرِعُ إليه. قال: أرقيهم، قالت: فَعَرَضْتُ عليه، فقال أرقيهم.( رواه مسلم
"Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku (keponakanku) kurus-kurus, apakah mereka ditimpa kekurangan/ kemiskinan?” Maka Asma' menjawab, “Tidak, akan tetapi (pengaruh mata) cepat sekali menimpa mereka?” Maka beliau bersabda, “Jampi-jampilah (ruqyahlah) mereka.” Asma' berkata, “Maka akupun memaparkan bacaan jampi-jampi kepadanya.” dan beliau bersabda, “Jampi-jampilah mereka (dengannya-pen.).” (HR. Muslim).
Dari beberapa hadits di atas, jelaslah bagi kita bahwa di antara kiat mewujudkan keberkahan dalam hidup kita adalah dengan berdoa kepada Allah Ta'ala memohon keberkahan, yaitu dengan mengucapkan
بَارَكَ اللهُ فِيهِ
"Semoga Allah memberkahinya", atau ucapan doa yang semakna dengannya. Dengan doa-doa semacam ini, -insya Allah- diri kita, keluarga, dan harta-benda kita akan mendapatkan keberkahan alias langgeng, dan terhindar dari petaka.

(sumber: www.pengusahamuslim.com)
Kalau mau download file ini, silakan klik di sini.

Lengkapnya di sini ya...

12 KIAT NGALAP BERKAH: ARTI KEBERKAHAN REZEKI

"Berkah" atau "al-barakah" bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab atau melalui dalil-dalil dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, niscaya kita akan mendapatkan, bahwa "al barakah" memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung.

Secara ilmu bahasa, "al-barakah" berarti "Berkembang, bertambah dan kebahagiaan.” (Al-Misbah al-Munir oleh al-Faiyyumy 1/45, al-Qamus al-Muhith oleh al-Fairuz Abadi 2/1236, dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur 10/395).

Imam an-Nawawi berkata, "Asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi." (Syarah Shahih Muslimoleh an-Nawawi, 1/225).Adapun bila ditinjau melalui dalil-dalil dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka "al-barakah" memiliki makna dan perwujudan yang tidak jauh berbeda dari makna "al-barakah" dalam ilmu bahasa.

Walau demikian, kebaikan dan perkembangan tersebut tidak boleh hanya dipahami dalam wujud yang riil, yaitu jumlah harta yang senantiasa bertambah dan berlipat ganda. Kebaikan dan perkembangan harta, dapat saja terwujud dengan berlipat gandannya kegunaan harta tersebut, walaupun jumlahnya tidak bertambah banyak atau tidak berlipat ganda.

Misalnya, mungkin saja seseorang yang hanya memiliki sedikit dari harta benda, akan tetapi karena harta itu penuh dengan keberkahan, maka ia terhindar dari berbagai mara bahaya, penyakit, dan tenteram hidupnya. Dan sebaliknya, bisa saja seseorang yang hartanya melimpah ruah, akan tetapi karena tidak diberkahi Allah, hartanya tersebut menjadi sumber bencana, penyakit, dan bahkan mungkin ia tidak dapat memanfaat harta tersebut.

Salah seorang sahabat saya bercerita, bahwa ada seorang tukang becak yang sehari-harinya hidup pas-pasan. Akan tetapi, karena ia sering mengantarkan sebagian penumpangnya ke Hous Donut, ia menjadi berangan-angan: andai aku bisa memiliki kesempatan menikmati donat buatan toko ini.

Subhanallah, setelah tukang becak ini merintis usaha baru dengan bermodalkan piutang dari salah satu bank konvensional, yang tentunya dengan memungut bunga, maka usahanyapun mulai maju, dan taraf kehidupannyapun mulai berubah. Dan tidak selang berapa lama, ia menjadi salah seorang yang kaya raya.

Akan tetapi suatu hal terjadi di luar perhitungannya, bersama usahanya yang mulai maju, beberapa penyakitpun mulai menghinggapinya. Dimulai dari kencing manis dan penyakit-penyakit lainnya, akibatnya impiannya untuk dapat menikmati donat buatan Hous Donut tidak juga kunjung dapat ia wujudkan. Bila dahulu semasa ia menjadi tukang becak, ia tidak mampu membelinya, maka sekarang karena ia takut akan akibat dari makan donat.

Bila dahulu ia sering hanya mengenakan kaos butut dan celana kolor, maka sekarang setelah kaya raya, iapun tidak lebih dari itu. Yang demikian itu, dikarenakan ia lebih sering untuk berada dalam rumah, dan bahkan tidak jarang ia harus setia menemani tempat tidurnya, sambil menahan rasa sakit yang ia derita.

Untuk sedikit mengetahui tentang keberkahan yang dikisahkan dalam al-Quran, dan as-Sunnah, maka saya mengajak hadirin untuk bersama-sama merenungkan beberapa dalil berikut:

Dalil Pertama
(وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاء مَاء مُّبَارَكًا فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَّهَا طَلْعٌ نَّضِيدٌ {10} رِزْقًا لِّلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَّيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ (ق: 9-11

"Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi (banyak membawa kemanfaatan), lalu Kami tumbuhkan dengan air itu taman-taman dan biji-biji tanaman yang diketam. Dan pohon kurma yang tingi-tinggi yang memiliki mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Demikianlah terjadinya kebangkitan." (Qs. Qaaf: 9-11).

Bila keberkahan telah menyertai hujan yang turun dari langit, tanah gersang, kering keronta menjadi subur makmur, kemudian muncullah taman-taman indah, buah-buahan dan biji-bijian yang melimpah ruah. Sehingga negeri yang dikaruniai Allah dengan hujan yang berkah, menjadi negeri gemah ripah loh jinawi (kata orang jawa) atau

(بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ (سبأ: 15
"(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun." (Qs. Saba': 15).

Demikianlah Allah Ta'ala menyimpulkan kisah bangsa Saba', suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shaleh, penuh dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, bahwa dahulu wanita kaum Saba' tidak perlu untuk memanen buah-buahan kebun mereka. Untuk mengambil hasil kebunnya, mereka cukup membawa keranjang di atas kepalanya, lalu melintas dikebunnya, maka buah-buahan yang telah masak dan berjatuhan sudah dapat memenuhi keranjangnya, tanpa harus bersusah-payah memetik atau mendatangkan pekerja yang memanennya.

Sebagian ulama lain juga menyebutkan, bahwa dahulu di negeri Saba' tidak ada lalat, nyamuk, kutu, atau serangga lainnya, yang demikian itu berkat udaranya yang bagus, cuacanya yang bersih, dan berkat kerahmatan Allah yang senantiasa meliputi mereka (Tafsir Ibnu Katsir, 3/531).

Dalil Kedua
Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan tentang berbagai kejadian yang mendahului kebangkitan hari Kiamat, beliau bersabda,

يقال للأرض: أنبتي ثمرتك وردي بركتك، فيومئذ تأكل العصابة من الرمانة، ويستظلون بقحفها، ويبارك في الرِّسْلِ، حتى إن اللقحة من الإبل لتكفي الفئام من الناس، واللقحة من البقر لتكفي القبيلة من الناس، واللقحة من الغنم لتكفي الفخذ من الناس. رواه مسلم

"Akan diperintahkan (oleh Allah) kepada bumi: tumbuhkanlah buah-buahanmu, dan kembalikan keberkahanmu, maka pada masa itu, sekelompok orang akan merasa cukup (menjadi kenyang) dengan memakan satu buah delima, dan mereka dapat berteduh dibawah kulitnya. Dan air susu diberkahi, sampai-sampai sekali peras seekor unta dapat mencukupi banyak orang, dan sekali peras susu seekor sapi dapat mencukupi manusia satu kabilah, dan sekali peras, susu seekor domba dapat mencukupi satu cabang kabilah." (HR. Imam Muslim).

Demikianlah ketika rezeki diberkahi Allah, sehingga rezeki yang sedikit jumlahnya, akan tetapi kemanfaatannya sangat banyak, sampai-sampai satu buah delima dapat mengenyangkan segerombol orang, dan susu hasil perasan seekor sapi dapat mencukupi kebutuhan orang satu kabilah.
Ibnu Qayyim berkata, "Tidaklah kelapangan rezeki dan amalan diukur dengan jumlahnya yang banyak, tidaklah panjang umur dilihat dari bulan dan tahunnya yang berjumlah banyak. Akan tetapi, kelapangan rezeki dan umur diukur dengan keberkahannya." (Al-Jawabul Kafi karya Ibnu Qayyim, 56).
Bila ada yang berkata, “Itukan kelak tatkala Kiamat telah dekat, sehingga tidak mengherankan, karena saat itu banyak terjadi kejadian yang luar biasa, sehingga apa yang disebutkan pada hadits ini adalah sebagian dari hal-hal tersebut.”

Ucapan ini tidak sepenuhnya benar, sebab hal yang serupa -walau tidak sebesar yang disebutkan pada hadits ini- juga pernah terjadi sebelum zaman kita, yaitu pada masa-masa keemasan umat Islam.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Sungguh, dahulu biji-bijian, baik gandum atau lainnya lebih besar dibanding yang ada sekarang, sebagaimana keberkahan yang ada padanya (biji-bijian kala itu-pen) lebih banyak. Imam Ahmad telah meriwayatkan melalui jalur sanadnya, bahwa telah ditemukan di gudang sebagian khalifah Bani Umawiyyah sekantung gandum yang biji-bijinya sebesar biji kurma, dan bertuliskan pada kantung luarnya: 'Ini adalah gandum hasil panen masa keadilan ditegakkan.'" (Zaadul Ma'ad oleh Ibnul Qayyim, 4 / 363 dan Musnad Imam Ahmad bin Hambal, 2/296).

Seusai kita membaca hadits dan keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas, kemudian kita berusaha mencocokkannya dengan diri kita, niscaya yang kita dapatkan adalah kebalikannya, yaitu makanan yang semestinya mencukupi beberapa orang tidak cukup untuk mengenyangkan satu orang, berbiji-biji buah delima hanya mencukupi satu orang.

Dalil Ketiga
عن عُرْوَةَ بن أبي الجعد البارقي رضي الله عنه أَنَّ النبي صلّى الله عليه وسلّم أَعْطَاهُ دِينَارًا يَشْتَرِي له بِهِ شَاةً فَاشْتَرَى له بِهِ شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ وَجَاءَهُ بِدِينَارٍ وَشَاةٍ فَدَعَا له بِالْبَرَكَةِ في بَيْعِهِ. وكان لو اشْتَرَى التُّرَابَ لَرَبِحَ فيه. رواه البخاري

"Dari sahabat Urwah bin Abil Ja'id al Bariqy radhillahu 'anhu, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberinya uang satu dinar agar ia membelikan seekor kambing untuk beliau, maka sahabat Urwah dengan uang itu membeli dua ekor kambing, lalu menjual salah satunya seharga satu dinar. Dan iapun datang menghadap Nabi dengan membawa uang satu dinar dan seekor kambing. Kemudian Nabi mendoakannya agar mendapatkan keberkahan dalam perniagaannya. Sehingga andaikata ia membeli debu, niscaya ia akan mendapatkan keuntungan padanya." (HR. al-Bukhary).
Demikianlah sedikit gambaran tentang peranan keberkahan pada usaha, penghasilan, dan kehidupan manusia, yang digambarkan dalam al-Quran dan al-Hadits.

Sebenarnya, masih banyak lagi gambaran tentang peranan keberkahan yang disebutkan dalam al-Quran atau hadits, hanya karena tidak ingin terlalu bertele-tele, saya cukupkan dengan tiga dalil di atas sebagai contoh, sedangkan sebagian lainnya akan disebutkan pada pembahasan selanjutnya.

(sumber: www.pengusahamuslim.com)
Kalau mau download file ini, silakan klik di sini.

Lengkapnya di sini ya...

12 KIAT NGALAP BERKAH: PENDAHULUAN

Segala puji hanya milik Allah Ta'ala, Dzat yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan seluruh sahabatnya. Amiin.

Betapa sering kita mengucapkan, mendengar, mendambakan dan berdoa untuk mendapatkan keberkahan. Keberkahan dalam umur, keberkahan dalam keluarga, keberkahan dalam usaha, keberkahan dalam harta benda, dan lain-lain. Bahkan, karena begitu besar harapan kita untuk mendapatkan keberkahan, sampai-sampai kita senantiasa saling mendoakan dengan mengucapkan,
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

"Semoga keselamatan dan keberkahan dari Allah senantiasa menyertaimu."
Doa agung nan indah ini telah dijadikan sebagai ucapan salam ketika kita berjumpa dan berpisah. Hal ini adalah bukti nyata akan pentingnya peranan keberkahan dalam hidup kita.

Akan tetapi, pernahkah kita bertanya, “Apakah sebenarnya keberkahan itu? Dan bagaimana keberkahan dapat diperoleh?”

Saudaraku, mungkinkah berkah dalam hidup kita hanya terwujud dalam "berkat" yang berhasil kita bawa pulang setiap kali kita menghadiri suatu pesta atau undangan?

Mungkinkah berkah itu hanya milik para kiyai, atau tukang ramal, juru-juru kuncen kuburan, sehingga bila kita ingin mendapatkannya, kita harus datang kepada mereka untuk "ngalap berkah", agar cita-cita kita tercapai?

Bersama tulisan ini, saya mengajak saudara-saudaraku untuk sedikit menyelami maksud dan aplikasi dari keberkahan. Dengan harapan, kita dapat merealisasikan keberkahan dalam harta yang berhasil kita peroleh dengan cucuran keringat kita. Sehingga, harta tersebut benar-benar berguna bagi kita dan juga anak keturunan kita. Bukan hanya di dunia, akan tetapi keberkahan harta kita dapat kita rasakan hingga kehidupan di akhirat kelak.

Perlu diketahui, walaupun pembahasan yang saya paparkan berikut ini hanya sebatas keberkahan dalam hal rezeki dan harta benda, akan tetapi sebenarnya keberkahan yang akan diperoleh dari menerapkan kedua belas kiat berikut mencakup seluruh aspek kehidupan.

Semoga paparan singkat ini bermanfaat bagi saya dan keluarga, serta saudara-saudaraku seiman dan seakidah yang telah berendah hati membaca tulisan sederhana ini.

(sumber: www.pengusahamuslim.com)
Kalau mau download file ini, silakan klik di sini.

Lengkapnya di sini ya...